March 25, 2008

Belajar dari Sejarah


Sejarah berjalan pada prinsip yang sama sepanjang masa namun tokoh dan kejadiannya berbeda karena adanya sebuah situasi dan kondisi yang berbeda. Segala peristiwa yang terjadi pada saat ini hanyalah sebuah rangkaian pola yang mengikuti sebuah jalur yang sama seperti sebuah rel kereta api dimana sejarah dengan berbagai macam peristiwanya adalah gerbong kereta api. Bila kita melihat fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, maka kita akan melihat sebuah kecenderungan untuk mengikuti pola kehidupan barat. Ada dua pendapat mengenai jalannya sejarah, yang pertama adalah Stanlerd dalam bukunya the decland of the west (kehancuran barat) dan Arnorld Toynbee (the study of history). Stanlerd mengusung makna sejarah sebagai sebuah siklus, sedangkan Toynbe lebih condong kepada sejarah yang bersifat evolutif. Secara pribadi saya lebih condong kepada Stanlerd yang menyatakan sejarah sebagai sebuah siklus. Sejarah manusia terus menjalani ritualnya, seperti halnya siang berganti malam dan gelap berganti terang. Pada suatu masa, sejarah manusia akan berada pada suatu masa kegemilangan intelektual dan tingginya peradaban namun di saat lain perang, bencana alam dan sebagainya akan merusaknya, hingga kemudian akan terbangun peradaban lainnya.
Seringkali dalam berbagai hal kita sering mengkambing hitamkan Barat sebagai penyebab keterpurukan kita. Tak bisa kita hindari dunia telah berubah menjadi little village akibat pengaruh globalisasi. Bila kita (Indonesia) berjuang sendiri tanpa koordinasi yang jelas dan kurangnya pemahaman terhadap potensi SDA, maka kita adalah sasaran empuk imperialisme dan kapitalisme. Indonesia adalah negeri yang dilematis. Adanya sebuah ketimpangan antara SDA dan SDM adalah salah satu titik lemah Indonesia.
Allah itu demokratis. Begitu juga halnya dengan Islam. Allah tidak pernah memaksa manusia, hidup adalah aneka pilihan yang dibebaskan Allah. Sebagaimana prajurit yang akan berperang membawa senjata. Seperti itulah fungsi akal bagi manusia. Dunia adalah sebuah arena pertempuran yang pemenangnya ditentukan oleh manusia itu sendiri. Apapun pilihan kita, kita harus siap bertanggung jawab sesuai dengan akal yang Allah berikan pada kita.
Sebagai contoh kita bisa melihat Indonesia. Menurut saya, Indonesia itu laksana manusia yang diberikan berbagai macam potensi dan keunggulan yang banyak oleh Allah, namun ia meski menyadarinya tak mampu memanfaatkan dengan optimal. Hal ini disebabkan oleh pola pikirnya yang kurang terarah. Padahal seperti kita ketahui bersama Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim. Namun selaku muslim kerapkali terjebak dalam sebuah rutinitas ibadah yang dimaknai hanya sebagai ritual belaka. Tindakan dan pemikiran mereka tidak didasari oleh butir-butir ayat dalam Al Qur’an. Umat muslim dahulu pernah mencapai kejayaannya karena adanya sebuah kepedulian yang besar terhadap sebuah pemahaman manusia sebagai makhluk berakal sehingga ilmu pengetahuan sangat berkembang kala itu. Sementara kini umat muslim khususnya Indonesia telah terdoktrin untuk menjiwai ajaran Islam hanya sebagai pada gerakan fisik tanpa berusaha menggali lebih dalam tentang apa itu Islam. Islam bukan hanya sebuah ajaran fisik namun menyeluruh. Islam dapat menjadi nafas dalam segala hal kehidupan tergantung pada pilihan manusianya sendiri. Manusia selain sebagai makhluk jasad juga adalah makhluk ber-ruh, yang selalu berproses dalam sebuah upaya penemuan jati diri dan kebenaran yang mutlak di dunia ini, semua itu relatif dan tergantung dari cara kita memandangnya sejauh manapun manusia melangkah, ia akan kembali terlempar pada suatu pertanyaan dasar : Siapa aku ? Apa tujuanku di dunia ?. Dunia adalah sebuah ladang, dimana kita manusia adalah makhluk penghuninya yang terus menggali dan menggali sembari menengadah ke langit.

Kita telah dibekali akal oleh Allah. Akal merupakan sebuah ruh pengetahuan yang ditiupkan oleh Allah untuk menjadi pengarah kehidupan kita. Dalam mencermati segala sesuatunya. Sudah sepatutnya kita menjadikan akal sebagai sebuah alat. Setidaknya bila di hari akhir kita diminta pertanggung jawaban atas segala yang kita lakukan, maka kita bisa menyatakan akal sebagai alasan jawaban. Namun dalam pelaksanaannya banyak hal-hal yang terlihat di luar akal seperti peristiwa Isra Miraj misalnya. Kita harus menyadari bahwa akal kita memiliki pemilik yaitu Allah sehingga sudah kewajiban kita untuk menyakini kebenaran-kebenaran Ilahiah asalkan sesuai dengan syarat dan ketentuan tertentu sehingga layak dipercaya.

Untuk menghadapi Indonesia saat ini, tidak hanya diperlukan teori tapi kerja nyata. Untuk menjadi indah, sesuatu harus ditempa. Begitu juga Indonesia, untuk menjadi lebih baik harus mau membenahi semuanya dari dasar secara total. Pertama kita harus menyamakan visi dan misi kita ke depan terhadap Indonesia, kemudian mulai melakukan perombakan atau penyesuaian terhadap segala struktur dan sistem yang berjalan di Indonesia dan berusaha mengadaptasikan dan menjalankan sesuai dengan sebuah komitmen bersama untuk mencapai kemaslahatan umat. Hasil bukanlah sebuah tujuan akhir yang terpenting adalah proses kita menemukan kebaikan didalamnya.

No comments: