March 25, 2008

HOW WILL I KNOW IF I MET THE PERSON I SHOULD MARRY


The choice of a marriage partner should not be based on "I get a warm, wonderful feeling whenever we're together and I want to have that warm wonderful feeling forever, so let's go get married". Feelings, as we have discussed, have no logic on their own. They need to be acknowledged, of course, but they need considerable assistance from your brain.


Marriage means choosing the person you will spend the rest of your life with. This, as you may have guessed, is a very long time to spend with one person. This person will live with you, eat meals with you, sleep with you, and go on vacation with you. More important yet, this person will share your children. You need to choose wisely. The decision should not be made based on feelings alone. You need to ask yourself some tough questions. The decisions have to be made on solid considerations.


Will this person be a good partner? Is she mature enough to put her own selfish desires aside to look out for what is best for the family? Is he prepared to be a good provider? What is his track record? Is he responsible enough to get a good job and keep it?


Will this person be a good parent? Can you stand the thought of your children turning out exactly like this person? They will, you know. Children spend a lot of time with their parents and consequently pick up many or most of their parents' character traits. You had better like your spouse's traits a lot because you will be seeing them again in your children.


If something were to happen to you, would you completely trust this person, alone, with the ask of raising and forming your children? This is not a pleasant thought, but it is an important consideration. Not everyone dies at a ripe old age with great grandchildren gathered around the bed. Sometimes a parent dies and leaves young children! In the care of the other parent. If you feel that you would need to be around to correct or lessen this person's influence on your children,Then you are considering the wrong person.


Does this person share your faith in God? God does not give us children so that we can mold them into the coolest, most popular people in school. Our job is to get them to heaven. To do that, we need to raise them believing in God. It is tough to do that if only one parent believes.


Saying "this is right and this is wrong, and I want you to ignore Mommy until you are thirty-five" does not work. Small children ask about eight skillion questions in a single day. The answers to those questions go a long way toward forming the kind of adults they will become. Who will be answering those? Questions for your children?


Does this person you are marrying have sexual self-control? Single people sometimes have this idea that marriage is just some kind of lifelong sex festival and that as long as they have each other, they will never be tempted by other people. Wrong! There are many times in every marriage when one partner or the other is sexually unavailable - illness, the last months of pregnancy, travel. There are also times when spouses, just get on each others' nerves.


At times like this, other people can seem very appealing. That can be dangerous, because there are plenty of very attractive people out there who are willing to make them available to married men and women. Do you want someone who has never said "no" to sex? If he is not good at saying "no" at eighteen, it won't be different at forty. Do you want to worry about whether or not your spouse is being faithful?


These are very important questions, and if you are not comfortable with all of the answers, you should definitely not marry this person.


None if this is to say that feelings play no role at all in a marriage decision. You don't have to, "Well, I suppose that you would make a good spouse and parent, so even though I don't particularly like you I guess I'll marry you'. You need to be happy and excited about the prospect of spending your life with someone. Your brain however, must acknowledge that this person as a good catch.


Don't listen to your heart alone or your head alone. Wait until your heart and head agree.

Belajar dari Sejarah


Sejarah berjalan pada prinsip yang sama sepanjang masa namun tokoh dan kejadiannya berbeda karena adanya sebuah situasi dan kondisi yang berbeda. Segala peristiwa yang terjadi pada saat ini hanyalah sebuah rangkaian pola yang mengikuti sebuah jalur yang sama seperti sebuah rel kereta api dimana sejarah dengan berbagai macam peristiwanya adalah gerbong kereta api. Bila kita melihat fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, maka kita akan melihat sebuah kecenderungan untuk mengikuti pola kehidupan barat. Ada dua pendapat mengenai jalannya sejarah, yang pertama adalah Stanlerd dalam bukunya the decland of the west (kehancuran barat) dan Arnorld Toynbee (the study of history). Stanlerd mengusung makna sejarah sebagai sebuah siklus, sedangkan Toynbe lebih condong kepada sejarah yang bersifat evolutif. Secara pribadi saya lebih condong kepada Stanlerd yang menyatakan sejarah sebagai sebuah siklus. Sejarah manusia terus menjalani ritualnya, seperti halnya siang berganti malam dan gelap berganti terang. Pada suatu masa, sejarah manusia akan berada pada suatu masa kegemilangan intelektual dan tingginya peradaban namun di saat lain perang, bencana alam dan sebagainya akan merusaknya, hingga kemudian akan terbangun peradaban lainnya.
Seringkali dalam berbagai hal kita sering mengkambing hitamkan Barat sebagai penyebab keterpurukan kita. Tak bisa kita hindari dunia telah berubah menjadi little village akibat pengaruh globalisasi. Bila kita (Indonesia) berjuang sendiri tanpa koordinasi yang jelas dan kurangnya pemahaman terhadap potensi SDA, maka kita adalah sasaran empuk imperialisme dan kapitalisme. Indonesia adalah negeri yang dilematis. Adanya sebuah ketimpangan antara SDA dan SDM adalah salah satu titik lemah Indonesia.
Allah itu demokratis. Begitu juga halnya dengan Islam. Allah tidak pernah memaksa manusia, hidup adalah aneka pilihan yang dibebaskan Allah. Sebagaimana prajurit yang akan berperang membawa senjata. Seperti itulah fungsi akal bagi manusia. Dunia adalah sebuah arena pertempuran yang pemenangnya ditentukan oleh manusia itu sendiri. Apapun pilihan kita, kita harus siap bertanggung jawab sesuai dengan akal yang Allah berikan pada kita.
Sebagai contoh kita bisa melihat Indonesia. Menurut saya, Indonesia itu laksana manusia yang diberikan berbagai macam potensi dan keunggulan yang banyak oleh Allah, namun ia meski menyadarinya tak mampu memanfaatkan dengan optimal. Hal ini disebabkan oleh pola pikirnya yang kurang terarah. Padahal seperti kita ketahui bersama Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim. Namun selaku muslim kerapkali terjebak dalam sebuah rutinitas ibadah yang dimaknai hanya sebagai ritual belaka. Tindakan dan pemikiran mereka tidak didasari oleh butir-butir ayat dalam Al Qur’an. Umat muslim dahulu pernah mencapai kejayaannya karena adanya sebuah kepedulian yang besar terhadap sebuah pemahaman manusia sebagai makhluk berakal sehingga ilmu pengetahuan sangat berkembang kala itu. Sementara kini umat muslim khususnya Indonesia telah terdoktrin untuk menjiwai ajaran Islam hanya sebagai pada gerakan fisik tanpa berusaha menggali lebih dalam tentang apa itu Islam. Islam bukan hanya sebuah ajaran fisik namun menyeluruh. Islam dapat menjadi nafas dalam segala hal kehidupan tergantung pada pilihan manusianya sendiri. Manusia selain sebagai makhluk jasad juga adalah makhluk ber-ruh, yang selalu berproses dalam sebuah upaya penemuan jati diri dan kebenaran yang mutlak di dunia ini, semua itu relatif dan tergantung dari cara kita memandangnya sejauh manapun manusia melangkah, ia akan kembali terlempar pada suatu pertanyaan dasar : Siapa aku ? Apa tujuanku di dunia ?. Dunia adalah sebuah ladang, dimana kita manusia adalah makhluk penghuninya yang terus menggali dan menggali sembari menengadah ke langit.

Kita telah dibekali akal oleh Allah. Akal merupakan sebuah ruh pengetahuan yang ditiupkan oleh Allah untuk menjadi pengarah kehidupan kita. Dalam mencermati segala sesuatunya. Sudah sepatutnya kita menjadikan akal sebagai sebuah alat. Setidaknya bila di hari akhir kita diminta pertanggung jawaban atas segala yang kita lakukan, maka kita bisa menyatakan akal sebagai alasan jawaban. Namun dalam pelaksanaannya banyak hal-hal yang terlihat di luar akal seperti peristiwa Isra Miraj misalnya. Kita harus menyadari bahwa akal kita memiliki pemilik yaitu Allah sehingga sudah kewajiban kita untuk menyakini kebenaran-kebenaran Ilahiah asalkan sesuai dengan syarat dan ketentuan tertentu sehingga layak dipercaya.

Untuk menghadapi Indonesia saat ini, tidak hanya diperlukan teori tapi kerja nyata. Untuk menjadi indah, sesuatu harus ditempa. Begitu juga Indonesia, untuk menjadi lebih baik harus mau membenahi semuanya dari dasar secara total. Pertama kita harus menyamakan visi dan misi kita ke depan terhadap Indonesia, kemudian mulai melakukan perombakan atau penyesuaian terhadap segala struktur dan sistem yang berjalan di Indonesia dan berusaha mengadaptasikan dan menjalankan sesuai dengan sebuah komitmen bersama untuk mencapai kemaslahatan umat. Hasil bukanlah sebuah tujuan akhir yang terpenting adalah proses kita menemukan kebaikan didalamnya.